Rabu, 05 Januari 2011

FajarYehuda
5 Januari 2010
Judul artikel: MAKNA TEOLOGIS: “EHYEH ASYER EHYEH” (AKU ADALAH AKU
)

Sejak Kitab Suci Perjanjian Baru ditulis oleh rasul-rasul Kristus, tetragramaton (keempat huruf suci YHWH, Yahweh) diterjemahkan dalam bahasa Yunani Kyrios (Tuhan). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan rasul-rasulnya, yang biasanya melafalkan Yahweh dengan Adonāy (Tuhan) atau Ha-Shem (Nama segala nama). United Bible Societies (UBS) dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) juga mengikuti kebiasaan ini, yang dibenarkan dan diikuti oleh orang Yahudi modern sekarang, untuk menerjemahkan Yahweh dengan The LORD (dengan huruf besar semua). Yang pertama kali menggugat tradisi penerjemahkan nama Allah ini adalah kelompok restorasionisme yang menamakan diri Jehovah’s Witnesses (Saksi-saksi Yehuwa).
Kelompok ini, dengan bangga telah mengembalikan Yahweh dalam Perjanjian Baru, meskipun teks asli dari rasul-rasul sendiri tidak mempertahankannya. Timbul pertanyaan: Bolehkah “nama diri” (the proper name) diterjemahkan? Ada “kelompok sempalan” lain akhir-akhir ini yang berpendapat, menerjemahkan Nama YHWH dalam bahasa-bahasa lain berarti menghujat Nama-Nya. Tetapi mengapa Yesus dan Rasul-rasul-Nya tidak memperta-hankan Nama tersebut? Semua pertanyaan ini hanya bisa dijawab apabila kita memahami apakah makna “nama” dalam teologi dan kebudayaan Yahudi, yang melatarbelakangi kehidupan Yesus yang “lahir dari seorang perempuan yang takluk kepada hukum Taurat” (Galatia 4:4), dan diikuti oleh murid-murid Yesus serta Gereja-Nya sampai hari ini.


Nama Yahweh (TUHAN): Asal-usul dan Makna Teologis

Nama Yahweh untuk pertama kalinya dinyatakan kepada Nabi Musa (Keluaran 6:1). Allah menyatakan diri kepada Nabi Musa dalam nyala api yang keluar dari semak duri, dan ketika Allah mengutusnya menghadap kepada Firaun untuk membawa umat Israel keluar dari Mesir, Musa bertanya: “Bagaimana tentang Nama-Nya? (Ibrani: Mah symo). Apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (Keluaran 3:13).

Patut dicatat pula, cara biasa untuk menanyakan nama seseorang dalam bahasa Ibrani memakai kata ganti Mi, “Siapakah” (bandingkan dengan kata Arab, Man). Tetapi di sini dalam ayat ini dipakai “Bagaimana (mah) tentang Nama-Nya?” Mah symo, sejajar dengan bahasa Arab: Ma smuhu, menuntut suatu jawaban yang lebih jauh, yaitu memberikan arti (“apa dan bagaimana”) atau hakikat dari nama itu. Bukan sekedar menunjukkan nama, melainkan lebih dari itu makna yang menunjuk kepada “Kuasa di balik Dia yang di-Nama-kan.”

Jadi, kita tidak bisa memahaminya seperti nama-nama makhluk pada umumnya: Suradi, Yakub, Hendarto, dan lain-lain. Pertanyaan Nabi Musa ini lalu dijawab Allah dalam bahasa Ibrani: Ehyeh asyer ehyeh—Aku adalah Aku (Keluaran 3:14). Dengan firman itu Allah menyatakan siapakah Diri-Nya. Secara gramatikal, apabila Allah sendiri yang mengucapkan Nama-Nya, maka kita menjumpai bentuk ehyeh (Aku Ada), sedangkan apabila umat Allah yang mengucapkan tentu saja memakai kata ganti orang ketiga Yahweh (Dia Ada).

Bagaimana pula secara gramatikal akhirnya kita menemukan bentuk Yahweh? Menurut sebuah tafsir dalam bahasa Ibrani yang cukup representatif (karena berasal dari kalangan rabbi-rabbi Yahudi sendiri), memang bentuk Yahweh tersebut berkaitan erat dengan kemahahadiran Ilahi, baik dahulu, kini dan yang akan datang. Keberadaan Allah apabila dikaitkan dengan ketiga aspek waktu tersebut, dalam bahasa Ibrani adalah: hayah, “Ia telah Ada” (He was), howeh, “Ia Ada” (He is), dan yihyeh, “Ia akan Ada” (He will be). Maksudnya di sini, Allah itu Mahakekal, tidak terikat oleh aspek waktu, dan hal itu dibuktikan dengan kekuasaan-Nya yang selalu dinamis.

Dari deksripsi di atas, jelas bahwa Perjanjian Baru lebih mengacu kepada makna teologis di balik Nama itu, yaitu kuasa-Nya yang hidup dan bukan mempertahankan secara harfiah huruf-huruf mati tersebut. Terjemahan Nama Yahweh ini, antara lain dapat kita baca dalam Wahyu Yohanes: “Aku adalah Alfa dan Omega, yang ada yang yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa” (Wahyu 1:8).

Perhatikanlah, ungkapan yang dicetak miring (kursif). Dalam bahasa Yunani: ho on kai ho en kai ho erksomenos, ho Pantakrator. Frase ini merupakan terjemahan dari sebuah doa (Siddur) Yahudi dari zaman pra-Kristen hingga sekarang, yaitu doa Adon ’olam yang sangat terkenal, yang memuat keterangan dari Nama Yahweh yang pantang diucapkan itu: Ve hu hayah we hu hoveh we hu yihyeh le tif’arah (Ia yang sudah ada, yang ada, dan yang akan ada, kekuasaan-Nya kekal sampai selama-lamanya).

“Nama” dan “Pribadi” dalam Alkitab

Dalam kebudayaan Yahudi yang melatarbelakangi Alkitab, “nama” selalu terkait erat dengan “pribadi”. Dalam Kitab Suci, “nama” dapat diru-muskan dalam tiga dalil:
1. Nama adalah pribadi itu sendiri;
2. Nama adalah pribadi yang diungkapkan; dan
3. Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif.

Apabila ketiga pengertian ini diterapkan untuk Allah, maka penjelasan sekaligus dalil-dalilnya sebagai berikut:

1. Nama menunjuk kepada Pribadi itu sendiri

Dalam Alkitab nama seseorang selalu diidentikkan dengan pribadi seseorang. Lenyapnya seseorang sering disebut “namanya hilang”. Misalnya, doa Israel ketika mereka dikalahkan dalam sebuah peperangan: “…mereka akan melenyapkan nama kami dari bumi ini, dan apakah yang Kau lakukan untuk memulihkan Nama-Mu yang besar itu?” (Yosua 7:9).
Dalam hal Allah digambarkan lebih dramatis lagi, sebab TUHAN identik dengan “Sang Nama”. Imamat 24:11 dalam teks bahasa asli: Wayyiqov ben ha isyah ha yisrael et ha Syem… (Anak perempuan Israel itu menghujat Sang Nama dengan mengutuk...)
Karena itu, Terjemahan Baru/ TB (1974) LAI menerjemahkan: “Anak perempuan Israel itu menghujat Nama TUHAN dengan mengutuk…) Dari contoh ayat di atas, jelaslah bahwa Nama menunjuk kepada Pribadi yang di-”Nama”-kan. Karena itu, yang dipentingkan bukan penyebutan Nama Ilahi Yahweh dalam bahasa asli Ibrani, melainkan lebih menunjuk kepada Pribadi Allah itu sendiri. Allah yang Mahakekal, Maha Esa, Mahahidup dan menyatakan Diri-Nya kepada manusia.

2. Nama adalah Pribadi yang Diungkapkan

Apabila Amsal 18:10 menyebut bahwa Nama TUHAN (syem Yahweh) adalah menara yang kuat, maksudnya tidak lain adalah Pribadi Allah yang hidup dengan kekuasaan Ilahi-Nya yang menjaga dan melindungi kita umat-Nya. “Nama” di sini menunjuk kepada apa yang diketahui tentang Pribadi-Nya.
Contoh yang lebih jelas, Yesaya 30:27 dalam bahasa Ibrani: Hinneh, syem Yahweh ba mimerhaq…” Secara harfiah terjemahannya: “Perhatikanlah, Nama TUHAN datang dari tempat-Nya yang jauh…” Mengapa dikatakan “Nama TUHAN datang”, dan tidak cukup dikatakan saja “TUHAN datang”? Jawabannya, Nama di sini untuk menekankan “pengungkapan Pribadi-Nya”. Tepat sekali, LAI menerjemahkan: “TUHAN datang menyatakan Diri-Nya dari tempat yang jauh…” Di sini, syem (Nama) diterjemahkan “menyatakan Diri-Nya”.
Jadi, sekali lagi bukan dalam makna mempertahankan secara harfiah penyebutan Ibrani Yahweh , se-bagaimana ditafsirkan Saksi-saksi Yehuwa, dan di-ikuti oleh kelompok “bidat baru” Kristen tertentu pada tahun-tahun terakhir ini di Indonesia.

3. Nama adalah Pribadi yang hadir secara aktif

Makna ketiga dari Nama adalah kehadiran aktif Pribadi itu dalam kepenuhan sifat-Nya yang diungkapkan. Mazmur 76:1 menyebutkan: “…Nama-Nya masyhur di Israel”, dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan Allah yang dasyat yang dialami oleh umat Israel. Begitu pula, di Gunung Karmel Nabi Elia mengusulkan “peperangan” Nama Tuhan dengan nama ilah-ilah selain-Nya. “Nama” dalam hal ini menunjuk kepada Pribadi yang hadir, yang dibuktikan dengan menjawab doa orang yang menyeru Nama-Nya.

“Kemudian biarlah kamu memanggil nama ilah-mu (be shem elohekhem) dan akupun akan memanggil Nama Tuhan (beshem Yahweh), maka ilah yang menjawab dengan api, Dialah Allah (ve hayah ha-elohim asyer yaeneh be esh hu ha-elohim)” (1 Raja-raja 18: 24).

Demikianlah apabila teks Ibrani di atas secara harfiah diterjemahkan dalam bahasa Arab: “…wa al-ilah alladzi yujiibu binarin faa huwa Allah”. Secara gramatikal, dalam konteks ayat tersebut, Allah adalah “al-Ilah alladzi yujiibu binarin” (Ilah yang menjawab dengan api itu). Maksudnya, Allah adalah Ilah (sembahan) yang Mahakuasa, dan Dia telah membuktikan kekuasaan-Nya sebagai Allah yang Hidup.

Kutipan ini juga membuktikan bahwa kata ALLAH dalam bahasa Arab memang berasal dari Al-Ilah [yang berarti Sang Ilah Yang Satu], dan bukan “nama diri” (the proper name). [Nama itu sejak awal dipakai untuk menghormati Sang Ilah Tertinggi, Ilah di atas segala ilah—sebelum akhirnya dipakai oleh kaum pagan Arab.] Nama Diri Allah adalah YHVH atau Yahweh [yaitu Sang Elohim Yang Satu, Ha-Elohim], seperti disebutkan dibuktikan dengan “peperangan nama” di gunung Karmel di mana Yahweh tampil sebagai pemenang, karena Ia adalah Allah yang menjawab doa umat-Nya. Ia adalah Pribadi Ilahi yang benar-benar hadir secara aktif: Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah Allah (1 Raja-Raja 18:39). Dalam bahasa aslinya, seruan itu berbunyi: Yahweh, hu ha elohim! Yahweh, hu haelohim. Dalam terjemahan bahasa Arab: Ar Rabb, huwa Allah! Ar Rabb, huwa Allah (Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah Allah).

Jadi, jelaslah bahwa dalam hal “Nama Diri” Yahweh, semua umat Kristen sepakat. Masalahnya, baik UBS maupun LAI hanya mengikuti tradisi lama yang juga diikuti oleh Yesus, murid-murid-Nya dan Gereja Tuhan sepanjang abad, bahwa sekalipun nama Yahweh tetap dipertahankan dalam teks bahasa asli Kitab Suci (Perjanjian Lama) tetapi tidak membaca nama ilahi itu. Karena itu, kita dapat menerjemahkan nama Yahweh itu dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang dicontohkan oleh para penerjemah Alkitab dalam bahasa Yunani (Septuaginta) yang kemudian diikuti oleh rasul-rasul yang menulis Perjanjian Baru.

Catatan Penutup

Dari beberapa traktat dan publikasi yang diterbitkan kelompok baru “yang lebih Yahudi ketimbang orang Yahudi” ini, jelas sekali bahwa mereka menafsirkan Kitab Suci sangat harfiah, ayat demi ayat, tanpa melihat konteks dan sejarah teks-teks Alkitab. Kesan lain yang juga saya tangkap, para penganut “mazhab baru” ini biasanya sangat fanatis, dan dalam membahas tema ini mereka sudah mempunyai kesimpulan dulu.
Karena itu, segala pembahasan ilmiah, sebagaimana pernah saya lakukan dalam forum yang juga menghadirkan Romo Dr. Martin Harun dari Lembaga Biblika Indonesia, dari beberapa pembicara lain dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), selalu mentah. Mengapa? Sebab kalau mereka terpojok, mereka lalu lari mencari ayat-ayat lain, sementara pembahasan yang sudah mulai terfokus menjadi kabur kembali. Artikel ini saya tulis untuk menunjukkan sangat dangkalnya pemikiran mereka, pantas saja tuntutan mereka tidak pernah digubris oleh LAI, yang adalah gudangnya para pakar Biblika dan bahasa-bahasa Semitik yang sampai sekarang masih terus digunakan di Timur Tengah tersebut.

Dikutip dari artikel yang ditulis oleh Bambang Noorsena, SH, MA, DEA